Rabu, 04 Maret 2015

sejarah tradisi islam dinusantara

SEJARAH TRADISI ISLAM NUSANTARA


1. Pengertian seni budaya lokal

a. Pengertian seni
Seni adalah bentuk imajinasi manusia secara kreatif untuk menikmati kehidupan. Atau dapat juga didefinisikan sebagai hasil ciptaan manusia yang mengandung unsur indah, lembut, halus, serta memesona. Indah di lihat, indah dipandang, dan indah pula bila dihayati atau dirasakan.
Kesenian dapat dibagi menjadi lima kategori, sbb:
1) Seni rupa meliputi seni lukis, seni patung, seni dekorasi, dan seni pahat.
2) Seni sastra meliputi novel, cerita pendek, puisi
3) Seni suara meliputi music, seni calung, seni wayang
4) Seni drama meliputi ketoprak, dan sandiwara
5) Seni gerak meliputi seni tari, pencak silat, loncat indah, dsb

b. Pengertian budaya lokal dan ciri-cirinya
Budaya lokal adalah budaya asli suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W. Ajawalia, budaya lokal adalah ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal.
Misalnya: budaya masyarakat pedalaman sunda (Baduy), budaya nyangku dipanjalu Ciamis, budaya seren taun di Cicadas.
Cirri khas budaya tersebut meruparkan kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun, meskipun ditengah-tengah perkembangannya mengalami perubahan nilai. Perubahan dimaksud diakibatkan beberapa hal, misalnya percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya local suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli atau karena masyarakat sudah tidak memperhatikan lagi budaya local tersebut.
Misalnya : rumah manusia selalu mengalami perubahan (bentuk, gaya, dsb) tetapi tempat tinggal burung (sunda: sayang manuk ) atau hewan lainnya tetap tidak megalami perubahan.
Cirri budaya local dapat dikenal dalam bentuk kelembagaan social merupakan ikatan social bersama di antara anggota-anggota masyarakat.

2. Seni budaya pra-Islam
Produk seni budaya pra-Islam dapat dibedakan dalam kategori kurun waktu, yakni: seni budaya yang berasal dari masa prasejarah, masa kontak dengan tradisi besar hindu, dan seni budaya etnik lokal yang masih ada sekarang, yang di asumsikan berakar jauh kemasa lampau.
Dari kkurun prasejarah, kehidupan seni budaya ditandai oleh pendirian monument-monumen seremonial, baik berukuran kecil, sedang, maupun besar, yakni berupa peninggalan yang dibuat dari susunan batu.
Contoh : teras piramida, seperti terdapat di gunung padang (cianjur, sukabumi), cibalay dan kramat kasang (ciampea, bogor)

3. Islam dan seni budaya lokal
Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, kedudukan seni dan budaya mempunyai peran yang cukup penting di dalamnya. Berkaitan dengan itu, maka tidak aneh para ulama zaman dahulu begitu luas pengetahuannya. Ia tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga menguasai ilmu seni dan budaya. Kehidupan didunia pesantren bukanlah hal baru. Dibacakannya Kasidah Barjanji yang berkisah tentang keagungan Nabi Muhammad Saw. Merupakan salah satu contoh dari sekian karya sastra yang ditulis kalangan ulama pada zamannya.

4. Integrasi Islam dalam budaya lokal
Islam di kawasan kepulauan nusantara sesungguhnya telah berkembang dengan pesat karena proses akulturasi budaya lokal. Integrasi pemikiran islam selalu di sesuaikan dengan kekhasan budaya lokal. Dalam konteks ini, dakwah Islamiyah selalu melihat lingkungan sosial budaya dengan kacamata kearifan. Kemampuan adaptasi ini merupakan kecerdasan sosial, intelektual, dan spiritual yang dimiliki oleh para ulama dahulu yang bertugas menyebarkan agama Islam.

Beberapa contoh penyebaran Islam di Nusantara dalam kaitannya dengan budaya lokal :
a. Jejak Islam di Majapahit
Keberadaan Islam di Majapahit dapat dilacak dari adanya makam Islam disejumlah tempat di situs Trowulon. Di antaranya puluhan nisan batu kuno di pemakaman Tralaya (Troloyo). Tralaya terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Trowulon, Mojokerto. Tralaya hanya 2 km arah selatan Desa Trowulon pusat petilasan kotaraja (ibu kota) Kerajaan Majapahit, atau sekitar 15 km arah barat daya ibu kota Kabupaten Mojokerto. Pada nisan-nisan ini terpahat tulisan Arab, di antaranya berbunyi “Laailaaha ‘ilallah Muhammadar Rasulullah”.

b. Islam dan pembentukan budaya banten
Budaya banten bisa di identifikasi dengan menelusuri produk-produk kesusastraan seperti naskah-naskah, babad, atau buku-buku keagamaan berbagai cerita rakyat yang masih hidup dalam ingatan masyarakat, yang dituturkan oleh kelompok suku di Banten, dan warisan budaya material (cultural heritage) dalam pengertian yang luas. Yang termasuk dalam kategori terakhir ini adalah karya-karya arsitektur, tekhnologi, kesenian, dan sebagainya.
Miksic (1986) memperlihatkan fase-fase pertumbuhan perkembangan budaya Banten dalam panggung sejarah, yang dapat digolongkan dalam beberapa fase berikut:
1) Fase pra-sunda (1400-1525)
2) Fase awal penyebaran Islam (1525-1619)
3) Fase keseimbangan kekuatan
4) Fase penguasaan VOC/ Belanda
5) Fase surut dan jatuhnya Kesultanan Banten
6) Fase Mutakhir.

c. Peradaban Islam Sunda
Beberap unsur peradaban yang diperkenalkan Islam kepada masyarakat sunda dapat kita ketahui dari Babad Banten dan Babad Cirebon, khususnya menyangkut kasus pembangunan dan pengembangan kota dan system pemerintahan. Dua kota tersebut (banten dan Cirebon) pada masa pra-Islam masih merupakan dua desa nelayan yang sangat tidak berarti. Namun setelah dibangun oleh kedua Raja Islam, Cirebon dan Banten, berkembang menjadi kota Metropolitan. Sebuah orientasi baru yang dipelopori oleh Sultan Cirebon dan Banten ialah mengubah peranan kota pelabuhan yang tidak berarti menjadi kota pusat perdagangan yang besar.

d. Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa
Masyarakat tradisional memerlukan dan menciptakan berbagai mitos. Mitos berfungsi baik sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkesinambungan yang tidak berubah (status quo), dan mungkin pula sebagai apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang dicita-citakan.

Beberapa contoh gambaran berbagai Mitos Jawa pada masa lalu, yang beberapa diantaranya masih relevan pada masa sekarang.
1) Banyak anak banyak rezeki
2) Makan atau tidak yang penting kumpul
3) Ratu Adil
4) Kharisma Kiai

e. Kebudayaan Islam Aceh
Pengamatan terhadap bukti-bukti Arkeologi di Aceh menunjukan bukti kuat bahwa budaya masyarakat wilayah tersebut tersebar luas di banyak wilayah Indonesia. Salah satu bukti penting dari hal tersebut adalah ditemukanya batu nisan aceh dibeberapa wilayah di Indonesia. Menarik diperhatikan, meski agak sedikit unik bahwa temuan batu nisan yang ada di luar Aceh disebut sebagai “batu Aceh” atau “nisan Aceh”, tidak di identifikasi berasal dari daerah mana batu nisan tersebut ditemukan. Hal ini disebabkan penyebaran batu nisan Aceh merupakan salah satu bentuk budaya, dimana kemajuan kebudayaan Aceh telah di serap kelompok masyarakat non-Aceh.

Beberapa bentuk Nisan Aceh :
Nisan merupakan salah satu bagian atribut pemakaman Islam. Dalam system pemakaman ini, aspek penting yang menjadi perhatian utama kajian arkeologis adalah bentuk dan arsitektur makam.
a) Bentuk gabungan sayap-bucrane
b) Bentuk persegi panjang dengan hiasan kepala kerbau
c) Bentuk bundar (Silindrik)

5) Seni budaya lokal sebagai bagian dari tradisi Islam
Untuk strategi pengembangan Islam di Indonesia, kita perlu mempunyai visi ke depan. Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan cara pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Jika demikian, jelaslah perjalanan sejarah hubungan antara Islam sebagai agama dan budaya lokal yang melingkupinya serta adanya landasan hukum. Selain itu gerakan cultural lebih integrative dan massal sifatnya.sehubungan dengan hal ini kita patut mencontoh Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa.

6) Pandangan Islam terhadap budaya lokal
Islam adalah agama yang berkarakteristik universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan, dan kehormatan serta memiliki konsep yang humanistic (kemanusiaan) sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam. Bukti bahwa Islam memiliki toleransi terhadap budaya lokal adalah terlihat ketika Budhha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa. Islam tidak memindahkan simbol-simbol tersebut. Islam membawa bentuk kubah meski kini sudah ada penyesuaian bentuk.

Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang di adopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang “arabisasi” mana yang “islamisasi”.
* Begitu pula pengunaan kata salat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata ‘nyembah sang Hyang) adalah proses islamisasi bukannya arabisasi. Makna substansial dari salat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata.
* Adalah naïf juga mengganti salam Islam “Assalamu’alaikum” dengan “ dengan “selamat pagi, siang, sore, maupun malam”. Sebab esensi do’a dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan “selamat pagi” yang cenderung basa basi, selain salam itu sendiri memang di anjurkan oleh Allah swt. dan rasulnya.
Sejauh ini Islam di Indonesia dinilai lebih toleran terhadap budaya. Akibatnya, keislaman di Indonesia berbeda dengan yang berkembang di “pusat” pertumbuhan Islam. Kondisi ini memang menimbulkan banyak kesalahpahaman. Bagi sebagian pengamat, Indonesia di kategorikan sebagai “Islam yang jelek”. Kategori ini mendorong Nikki Keddie untuk meneliti sejauh mana perbedaan Islam yang berkembang di timur tengah dengan di Asia tenggara (Indonesia). Penelitian Keddie menemukan bahwa pada dasarnya Islam yang berkembang di Timur tengah tidak semuanya anti terhadap budaya lokal (budaya mistik). Di Kairo dan beberapa tempat lain didapatkan gejala yang serupa dengan di Asia tenggara (2000). Berarti islam yang bercampur dengan budaya local tidak khas si Indonesia, dan tidak menunjukkan sebagai islam yang jelek. Dalam konteks tradisi Islam dalam kekhalifahan Fatimiah di Mesir (abad ke-3/4 M), mistisisme sebagaimana di Indonesia juga berkembang luas.
Respons Al Qur’an bermuara pada dua kemungkinan, yakni mengkritik atau mengonfirmasi budaya lokal tersebut. Kritik dilakukan sepanjang budaya tersebut menistakan kehormatan manusia. Konfirmasi dilakukan sepanjang budaya tersebut menistakan kehormatan manusia. Konfirmasi diberikan pada budaya yang sejalan dengan cita-cita kemanusiaan.
Imam Syatibi merumuskannya secara sistematis dalam maqoshid al-syari’ah (tujuan syariat) di antaranya, menjaga dan memelihara kepentingan dan kemaslahatan manusia dan syariat agama diberlakukan untuk dipahami dan dihayati manusia, jadi, hubungan agama dan budaya terjadi dalam bentuk kritik dan mendukung, tidak semua budaya ditolak lantaran berasal dari kreasi manusia.
7) Melestarikan seni budaya lokal
Tak dapat dipungkiri bahwa faktor kemajuan peradaban dunia sebagai bentuk kemajuan berfikir umat manusia, tak salah apabila disebut bahwa umat manusia dewasa ini telah dihadapkan pada situasi yang serba maju, dan pemikiran yang kritis. Kemajuan itu banyak mengakibatkan perubahan disegala bidang kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bernegara, maupun berbangsa.
Banyak di antara masyarakat itu menerima perubahan peradaban sebagai sesuatu yang lumrah sebagai sebuah proses yang harus dijalani, dimaklumi, dan kehadirannya senantiasa menimbulkan berbagai perubahan dalam praktiknya. Akibatnya, memaksa masyarakat budaya, mau tak mau atau sadar atau tidak sadar dihadapkan pada situasi yang sulit antara menerima perubahan peradaban itu ( karena tidak ingin dianggap kolot) atau menolak perubahan itu kendati pun di anggap kuno.

Globalisasi, sudah menjadi takdir dan arus derasnya sulit untuk dibendung dengan alat apapun. Ke depan, sudah terbentang luas, dimanakah kita berada? Apakah kita termasuk kelompok yang habis-habisan memuja budaya barat, unsur dominan globalisasi? Atau kita menyatakan perang terbuka terhadap budaya barat..Akibanya kearifan lokal berada pada pilihan ketiga, tetapi sayang ini justru pilihan yang sepi, buktinya, berjuta-juta orang Indonesia berduyun-duyun menolak atau menerima pengaruh barat secara habis-habisan. Begitu pula pada saudara-saudara kita lainnya (suku-suku lain), seperti jawa, suku-suku di sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lainnya.

Kita sebagai pelajar harus mengkaji ulang bertanya kepada diri kita sejauhmana kecintaan dalam melestarikan kebudayaan nasional kita agar tidak mengalami pendangkalan makna terhadap kebudayaan nasional kita. Karena perkembangan zaman secara langsung menggeser budaya-budaya lokal. Berbagai peralatan digital, sangat mempengaruhi kepunahan budaya lokal. Dulu jika ada orang menabuh lesung, semua warga langsung berbondong-bondong menuju sumber suara tersebut, dan mereka dengan sendirinya akan bergantian untk menabuh lesung, sementara warga yang tidak memukul lesung langsung bergabung dengan rekan-rekannya yang lain untuk mengerjakan sesuau yang bermanfaat.
Budaya lokal, menyimpan banyak pesan, yang sudah tentu mudah dicerna dan dipahami, dan pesan-pesan yang disampaikan itu juga, membuat para warga saling mengerti, memahami, dan taat kepada norma-norma, baik norma adat maupun norma agama.

B. APRESIASI TERHADAP TRADISI DAN UPACARA ADAT KESUKUAN NUSANTARA
1. Pengertian Tradisi
Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat. Umumnya tradisi ini memiliki kekhususan atau keunikan. Keunikan tersebut biasanya menjadi daya tarik tersendiri. Salah satu contoh tradisi ialah tradisi Lisan. Tradisi lisan merupakan salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat setempat yang proses pewarisannya dilakukan secara lisan.

Macam-macam tradisi lisan :
a. Ceria rakyat (legenda cerita ken arok, si kabayan, sang kancil, sangkuriang dll)
b. Bahasa rakyat (logat, dialek, (sunda lentong)
c. Sajak atau puisi rakyat ( sajak biasa, sinom, asmarandana, dll)
d. Peribahasa rakyat (ungkapan tradisional) seperti ungkapan telur di ujung tanduk dan peribahasa lainnya.
e. Nyanyian rakyat (folksong) misalnya : Cing Cangkeling (sunda), Rambate rata (Sulsel), dll.

2. Agama, tradisi, dan budaya
Ada berbagai pemahaman mengenai tahun datangnya Islam ke wilayah Nusnatara, tetapi yang jelas ia datang setelah agama besar yang lain seperti Hindu, Budhha datang. Akan tetapi, Islam bisa memperluas pengaruhnya di kawasan ini dengan sangat luas dan mendalam dibanding dua agama sebelumnya. Selain karena Islam mengajarkan kesetaraan dan pembebasan, juga karena strategi penyebarannya. Islam disebarkan melalui perangkat budaya dan bahkan warisan agama lama yang masih ada, yang kemudian di-Islamisasi.

a. Pembentukan Islam Nusantara

Sebagaimana sering disinggung dalam buku sejarah bahwa Islam datang ke Nusantara disiarkan oleh para saudagar dari Gujarat dan Kurdistan, bahkan dari Champa dan Cina, bukan langsung dari arab. Kenyataan ini sering di salah artikan, dianggap Islam yang datang ke nusantara tidak murni bahkan dekaden, karena tercemar oleh berbagai tradisi yang dilalui.
Demikian pandangan menyesatkan dari para orientalis dan akademisi pada umumnya. Sebaliknya dalam pandangan kelompok Ahlus Sunnah, Islam yang datang ke Nusantara melalui berbagai Negara tersebut merupakan Islam yang sangat matang, Islam yang sangat sudah berpengalaman dalam menghadapi berbagai budaya dan tradisi yang dilewati seperti tradisi Persia, India, Cina dll. Sehingga ketika masuk ke Nusantara mereka bisa menyusun strategi dakwah yang pas. Karena itu, hampir tidak ada konflik dalam penyiaran agama, bahkan agama baru ini bisa diterima diberbagai pusat kekuasaan.

Dalam penyiaran agama yang pertama kali perlu dikenali terlebih dahulu adalah adat masyarakat setempat. Demikian menurut Syekh Abdurauf Sinkel (syah kuala) memberi nasihat kepada para santrinya. Hakim Agung pada masa Sultan Iskandar Muda (1907) itu memang ulama yang ahli dalam budaya.tradisi itu kemudian dikembangkan oleh para muridnya antara Syekh Burhanudin Ulakan dalam menyiarkan Islam di Minangkabau, dengan membiarkan tradisi berkembang walaupun tradisi mereka bertentangan dengan syariat. Dengan dalih bahwa yang menjadi target hanya kelompok mudanya, dengan metode bermain. Dengan strategi itu, Islam Ahlus Sunnah yang bermazdhab Syafi’i ini berkembang pesat diranah Pagaruyung itu. Berbeda dengan beberapa kawannya yang menolak nasihat gurunya akhirnya di usir warga dan gagal menyiarkan Islam.

Bahkan sebelum abad ke-15, ketika Sunan Bonang dan Sunan Drajat pergi hendak berguru ke Mekkah, ia bertemu dengan ayahnya Maulana Maghribi di Pasai, Aceh, setelah berguru disana dan ilmunya dianggap cukup disarankan pulang untuk berguru di Jawa saja. Karena justeru mengenal tradisi lebih penting menyiarkan Islam.
Demikian juga di Kalimantan, Syekh Arsyad Al Banjari menyiarkan Islam dengan penuh bijaksana, begitu pula dengan Syekh Abdus Shamad Al Palimbangi di Sumatera selatan
atau Syekh Khatib Sambas di Kalimantan Barat.
Strategi dan tradisi mereka relative sama karena antar Ulama Ahlus Sunnah itu memiliki jaringan yang sama dan mereka bahu-membahu dalam mengembangkan ajarannya.

Para wali di Jawa juga berusaha memperkenalkan Islam melalui jalur tradisi, contoh wayang yang merupakan bagian dari ritual bisa di ubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran tauhid. Mereka merasa aman dengan hadirnya Islam, karena Islam hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka.

Kita saksikan juga para wali dan ulama di Sulawesi dan di Maluku, mereka menulis berbagai gubahan syair, tidak hanya mengenai ajara Islam, tetapi juga tentang tradisi. Berbagai naskah di tulis untuk mendekatkan masyarakat dengan ajaran Islam. Bahkan ajran Islam disesuaikan dengan kondisi local, sehingga mereka merasa tidak asing. Setelah itu, diperkenalkan Islam yang sesungguhnya. Langkah strategis itu menunjukkan keberhasilan yag luar biasa, sehingga para pemeluk agaa lama bersedia pindah ke Islam, karena Islam melindungi bahkan turut memajukan tradisi mereka.

Tradisi ini bukan tanpa pembenaran dari pusat Islam di Makkah. Dalam kenyataannya para ulama Nusantara banyak belajar dan bahkan mukim di Tanah suci. Mereka menjadi Imam dan syekh yang sangat terhormat di Haramaian, sehingga di datangi santri dari seluruh penjuru dunia. Dengan demikian, mereka tidak lupa mengemban tugas menjaga kelestarian Islam Nusantara. Setelah para santri belajar dengan berbagai ulama disana, mereka menyepuhkan (mematangkan) ilmunya dengan para ulama Nusantara, sehingga ketika kembali ke Nusantara tidak berbenturan dengan umat dan tradisi yang ada.

Para Alumni Mekah itu kemudian kembali membuat jaringan Islam Nusantara, mereka saling mengarang kitab dan saling mengajarkan di pesantren masing-masing. Misalnya kitab karangan Syekh Burhanuddin Ar-Raniri dikembangkan oleh Syekh Arsyad Al Bajari, kemudian kitab itu dicetak secara luas oleh Syekh Salim Al Fathani di Mekkah, dan di ajarkan pada muridnya di Patani, Brunei, Malaysia, dan Filipina.

b. Pemangku Islam Nusantara
Tradisi keagamaan dan keilmuan Nusantara itu dikembangkan di pesantren yang ada di Nusantara. Melalui jaringan keulamaan dan kepesantrenan itulah tradisi Islam Nusantara dikembangkan. Langkah ini membuat seluruh masyarakat Nusantara menjadi pendukung tradisi Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang bermazdhab empat. Kalangan ini tidak ekslusif dan pasif. Terbukti ketika Portugis, Belanda, dan Inggris datang menjajah kawasan ini dengan system pendidikan Eropa dengan merongrong pendidikan lokal, maka kalangan Ulama pesantren dengan tegas mempertahankan system pendidikan mereka sendiri. Pesantren bersikap non-kooperatif, menolak segala bentuk kerja sama dengan kolonial untuk melegitimasi penjajahannya. Dari pendidikan pesantren itulah jaringan keilmuan Nusantara berkembang semakin intensif, sehingga bisa mengatasi segala tekanan kolonial, bahkan akhirya bisa menjadi basis perlawanan terhadap penjajahan.

Untuk merespon berbagai perkembangan yang ada di masyarakat, baik karena berkembangnya tingkat pemikiran masyarakat, adanya pengaruh kuat dan kebangkitan nasional, maupun menghadapi tantangan kolonialisme, kalangan pemangku Islam Nusantara yang lekat dengan tradisi ini berkembang secara luas di kawasan Nusantara dan Indonesia khususnya, menghimpun diri dalam berbagai organisasi.
§ Masyarakat Islam Sumatera Barat mendirikan Persatuan Tarbiyah, masyarakat Aceh,
§ Sumatera Utara mendirikan Al Washilah
§ Masyarakat Jawa mendirikan Nahdlatul Ulama,
§ Masyarakat Sulawesi mendirikan Darud Dakwah wal Irsyad
§ Masyarakat Nusa Tenggara mendirikan Nahdlatul Wathon
§ Masyarakat Sulawesi-Maluku mendirikan Al Akhirat, dan masih banyak lagi

Mereka itulah pendukung dan penyangga Islam Nusantara yang militan hingga saat ini. Penghimpunan ini penting terutama oleh Wahabi yang menguasai Mekkah tahun 1924-1925 mengusir mukmin Nusantara yang ada di Mekah. Kelompok ini tercerai-berai sehingga mereka terpaksa sebagian kembali ke tanah air dan menghimpun dalam bentuk organisasi untuk mempertahankan paham keagamaan mereka.

Islam jenis ini tidak hanya membawa keamanan, tetapi turut memberikan kontribusi besar bagi tumbuhnya peradaban Nusantara. Berbagai seni Arsitektur, seni sastra (filsafat), budaya, dan berbagai ekspresi kebudayaan yang lain. Ekspresi keislaman ini yang membedakan keislaman Nusantara ini yang membedakan keislaman Nusantara dengan Islam di timur tengah dan Islam Maghribi pada umumnya.

Beginilah kondisi Islam Nusantara sebagaimana dirintis dan dikembangkan oleh wali dan para ulama terdahulu, penting untuk dikukuhkan kembali agar Islam kembali menjadi agama yang dekat dan akrab dengan masyarakat Nusantara. Selain itu, system pendidikan pesantren yang merupakan system pendidikan khas Nusantara merupakan system pendidikan paling penting dalam proses ini. Dengan adanya pondok pesantren, maka Islam Nusantara tetap berkembang. Di pesantren itulah nilai-nilai kesusastraan diwariskan dan di ajarkan. Hingga saat ini, hanya di pesantren syalaf yang tetap mengajarkan berbagai kitab klasik (kitab kuning) dan melahirkan ulama-ulama besar. System ini tidak bisa digantikan oleh pendidikan modern seperti sekolah.
c. Karakter Dasar Islam Nusantara
Islam nusantara disebut sebagai sesuatu yang unik karena memiliki karakter khas yang membedakan Islam di daerah lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis dan latar belakang budaya yang dipijaknya. Selain itu, Islam yang datang kesini juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri.
§ Pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tidak dilawan tetapi mencoba diapresiasi kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam
§ Kedua, Islam datang tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka
§ Ketiga, Islam datang memilih tradisi dan diterima sebagai agama
§ Ke empat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.


d. Makna Keberadaan Islam Nusantara
Hadirnya Islam Nusantara ini memiliki pengaruh besar dan mendalam terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Ditandai antara lain,
§ Pertama, dengan kuatnya hubungan agama dengan tradisi dan bumi yang dipijak (tanah air) maka sejak awal Islam ini gigih menolak kehadiran imperialisme atau penjajahan bangsa asing.
§ Kedua, sejak awal Islam Nusantara turut aktif dalam membela kemerdekaan, mendirikan Negara termasuk ikut menyusun konstitusi yang bersifat nasional dan tetap berpijak pada agama dan tradisi, sehingga lahirlah Pancasila sebagai konsesus bersama menjelang bangsa ini merdeka.
§ Ketiga, dengan kecintaannya pada tradisi dan tanah air, Islam terbukti dalam sejarah tidak pernah memberontak terhadap pemerintah yang sah, karena pemberontakan ini di anggap penghianatan terhadap Negara yang telah di bangun bersama.

Salah satu kekuatan tradisi Sunni di Nusantara adalah kemampuannya membentuk Islam berkarakter moderat, toleran, dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Seperti ditunjukkan pada kemunculan kesultanan Islam pertama di Indonesia, Pasai yang berkultur syi’ah hingga kehadiran wali songo di Jawa.

Hal inilah yang di lakukan oleh Syekh Burhanuddin Ulakan yang memperkenalkan tradisi “tabut” (perayaan asyura) dan “basapa” (berjalan) di pesisir barat Sumatera abad ke-17. Sementaran Syekh Jalaludin Al Aidid memperkenalkan tradisi “maudu lompoa” (Maulid Nabi yang agung) di daerah Makasar (kini di Cikoang, Takalar) pada abad ke-17.

Sementara di Bengkulu, perayaan Asyura’ ini dinamakan “tabot” berasal dari kata arab (tabut) yang secara harfiah berarti “kotak kayu” atau “peti”. Perayaan ini di gelar tabot tebuang (tabot terbuang). Seluruh tabot berkumpul dilapangan di arak menuju padang jati, dan berakhir di kompleks pemakaman umum karabela. Tempat ini menjadi lokasi acara ritual tabot terbuang karena disini dimakamkan Imam Senggolo (sebutan untuk Syekh Burhanuddin Ulakan), perintis tabot di Bengkulu. Kemudian bangunan tabot dibuang ke rawa-rawa yang berdampingan dengan makam, yang menandai berakhirnya segenap rangkaian upacara tabot. Syekh Burhanuddin wafat pada tahun 1680 dan dimakamkan di Ulakan, Pariaman. Ada pula yang menyebutnya di bengkulu. Peran beliau dilanjutkan oleh putera angkatnya, Syekh Abdurrahman dan Syekh Jalaludin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar